My Season

Senin, 26 Oktober 2009

Perbincangan Terakhir

"Selamat pagi teratai putih, Kau masih tergenang muram"
"Selamat pagi dahan pohon, daun - daun mu gugur tanpa kesan"
Di tepi sungai jernih yang sepi, sunyi. Bayi - bayi burung menangis di batang - batang meranti, nyaris tenggelam bisikan angin dari Timur ke Barat atau dari Utara ke Selatan. Cerah, segar, bergairah.
"Aku pilu..." Kelopak teratai gemetar
"Aku rindu..." Dahan berderak
"Telah ku titipkan pedihnya lewat rerumputan di sekitar kita"
"Tapi telah ku siarkan pula ke seluruh penjuru. Melalui pegunungan, air terjun , kebun - kebun, bukit barisan, para pengembara, para pemburu, para pendaki, sampai ikan - ikan kecil, kepiting dan lumba - lumba tahukah Kau?"
"Aku tahu" Kata teratai pelan.
"Tidak, tidak. Tetes embun telah membasahi tubuh kita pagi ini. Jangan tambah lagi dengan air mata mu"
Teratai menepi menjauhi riak air. Pagi mulai berlari, siang hendak menghampiri. Menyapa tanaman yang meranggas, tanah cadas, burung - burung terbang kebas.
Ah... Teratai putih tetap cantik walaupun matahari mendelik.
"Kau pucat..."
"Kau cokelat..."
"Ini rahasia alam"
"Tapi ini perbedaan"
"Kau tak terima?"
"Lalu Aku harus bagaimana? Pasrah, bijaksana?"
Hening. Gamang menyingsing. Mereka telah kehabisan kata - kata untuk saling memuja. Juga telah kehabisan tawa untuk merangkai kisah.
"Kau hanya perlu bersamaku terus seperti ini. Biar saja malam pergi meninggalkan kabut pada pagi. Biar saja Panji Asmoro bangun pergi merantau meninggalkan Dewi Sekartaji. Biar saja hujan tinggalkan dingin, Api tinggalkan panas. Aku akan tetap berdiri di sini. Akar ku kokoh, ranting - ranting ku tak akan patah"
"Maaf..." Kata teratai pelan.
"Untuk apa?"
"Untuk waktu yang berjalan lebih cepat dari pada Kita. Untuk jiwaku yang tak tahan dengan detak - detak jarum jam"
"Aku tak tahu perasaanmu. Sungguhpun Kau bicara dengan nada ragu"
"Karena Aku tak mampu menyampaikannya pada ilalang. Bahwa nurani kita terlalu ringkih menerima takdir dari alam"
"Kenapa ilalang?"
"Karena Ia lebih pantas. Karena Kau dan Ia tak berbeda, hidup di dunia yang sama"
Air sungai berubah. Tak setenang seperti tadi. Teratai bergerak - gerak di atas permukaan air.
"Lalu Kau akan menjauhi Ku? Menanam pilu?"
"Telah ku katakan sejak awal bukan? Awal di perbincangan kita. Aku pilu sejak dulu. Sejak Kau masih menjadi bibit. Sejak hujan pun mungkin belum pernah turun dari langit. Waktu tidak hanya bergulir seperti kata - kata. Ia juga penghukum bagi mahluk-Nya yang telah lupa"
"Inikah perpisahan?"
"Siapa yang bisa melawan kehendak Tuhan? Lirih teratai.
Dahan pohon memikirkan detik - detik kedepan Ia tak bisa menggugurkan daun - daun hijau ke pangkuan bunga teratai. Itulah kado sederhana yang bisa Ia berikan setiap hari.
Juga tak ada lagi cerita tentang lumut- lumut dan lucunya cerita tentang bayi - bayi katak. Pohon akan hidup sendiri, berteman sepi, berkawan perih.
Lalu permukaan sungai yang bergoyang jadi gelombang, terus menerus menjadi arus. Bunga teratai putih mengikutinya sampai jauh. Meninggalkan pohon kekar yang kini harapannya terkapar. Diiringi siang yang hengkang, petang membayang.
dari jauh terdengar suara teratai menangis, suka telah habis.

2 komentar:

Rossy R mengatakan...

Pertamaxxx..ditunggu kunjungan baliknya di http://adarossyat.blogspot.com/2010/01/ayat-pertama-yang-turun.html

Citra mengatakan...

Thankyou atas komentarnya...
Pasti bakal berkunjung selalu...

-salam-