Sejenak saja,
Aku ingin tersenyum memandang dunia
Bentangan sang biru dan dedaunan yang hijau jatuh
Keindahan yang berharga
Membasuh kebekuan hati di ujung perih
Karena...
Aku adalah kayu yang rapuh
Terpangkas oleh keberingasan dunia
Dan orang menatapku nanar
Melenggang dengan ludah berbuih
Lembar demi lembar mega memang buram
Jatuhpun air murninya ke kalbuku
Takkan mampu mengusir perih
Sedangkan aku rumah tua tak berpilar
Hingga di batas Karinduanku pada-Nya
yang menghadirkan sang Nur dalam jasad
Aku tersadar...
Tapi...
siapa aku ?
Apakah aku ?
Pantaskah aku ?
Kemarin,
Alam mungkin bersorak mencemooh
Caci mereka sama seperti riak air
Dan ketika itu aku tersudut di ruang tak berpintu
Sejenak saja,
Aku ingin tertawa hingga mengcakrawala
Mengusung kerinduan bersama burung – burung
Berlari mengejar debur ombak dan karang yang menyambut di tepian
Kesejukan yang bermakna
Yang mungkin mampu mengembalikan sukmaku yang utuh
Adakah Kegembiraan itu ?
Abadi dan tanpa pamrih ?
Sejenak saja,
Di ujung usiaku
Di batas jalan tuaku
Aku ingin mengusir Pedih
Yang lama Tak beranjak dari hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar